Senin, 11 April 2011

Sebuah Kisah


Penantian Panjang seorang Ibu
Cerita ini dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tetapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli kota itu., melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya. Seperti kebanyakkan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka. Tidak sampa setahun di kota itu, mereka sudah kehabisan seluruh uangnya. Hingga suatu pagi mereka menyadari akan tinggal di mana malam nanti dengan tidak sepeser pun uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong seorang bayi berumur satu tahun. Dalam keadaan panik dan putusasa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya. Tiba saatnya di sebuah jalan sepi, di mana puing-puing dari sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh. 
KEPERGIAN AYAH 
Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata, "Saya harus meninggalkan kalian sekarang untuk mendapatkan pekerjaan apa pun, kalau tidak malam nati kita akan tidur di sini. Setelah mencium bayinya, ia pergi. Dan itu adalah kata-katanya yang terakhir karena setelah itu ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu dengan pasti ke mana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapalyang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya, sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam menjelang ibu dan anaknya tidur di emperan toko itu. Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil. Dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Persoalannya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik. Kelihatannya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu di situ, dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anaknya, agar ia tidak pergi ke mana-mana, tidak ikut siapa pun yang mengajaknya pergi atau yang menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapa pun selama ibunya tidak di tempat. "Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, Dan kita tidak lagi tidur dengan angin dirambut kita". Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya, di sebelahnya.
Ia meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh tersebut. Dengan sukacita sang ibu menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota. Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya, dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota.
BERPISAH DARI MAMA
Di situ sang gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Suami istri dokter tersebut memberi nama anak gadis itu Serrafona, mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana, gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi, dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke mana pun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian setiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo. Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah realestate sebesar 14 hektar yang di isi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota Itu.
Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang mengubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya, ia menemukan selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terawat, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi di antara benda-benda mewah itu tampak sesuatu yang terbungkus oleh kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan, dan bukan terbuat dari emas murni. Almarhum ibu memberinya benda itu dengan pesan untuk tidak menghilangkannya. Ia sempat bertanya, kalau itu anting, di mana pasangannya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting itu di dekat foto.
Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya dengan senyum yang dibuat-buat, belum pernah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya. Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dingin sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya, "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu sekarang masih ada di jalan setelah 25 tahun?" Ini semua adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna.


BERKELANA DALAM PENCARIAN
Foto hitam putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, penerbit surat kabar, dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.Bulan demi bulan telah berialu, tapi tak ada perkembangan apa pun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik.
Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum, sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian. Saat itu waktu sudah memasuki masa menjelang Natal. Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, dan bahkan untuk kasus Serrafona pun, orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang mulai menyala di sana sini, mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan di tempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih. Pagi, siang dan sore ia berdoa, "Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan hari lahir-Mu, tapi izinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup ini, temukan saya dengan ibu." Tuhan mendengarkan doa itu.
Setelah berusaha dalam berbagai upaya pencarian, suatu sore Serrafona menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, tim pencaripun terbang ketempat wanita itu berada, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah menculik seorang gadis kecil di tepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang. Malam itu juga mereka mengunjungi kota di mana Serrafonna diculik, mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu.
Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Dan untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya. Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staf mereka. "Tuhan Maha Kasih nyonya, kalau memang Tuhan mengizinkan, kami mungkin telah menemukan ibu nyonya, hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak terlalu banyak lagi." Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah disepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main di tepi jalan dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.
Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Cepat, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa: "Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja untuknya". Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa, "Tuhan beri saya sebulan saja." Mobil masih berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis, "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan." Ketika mereka masuk dibelokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat, sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas, panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan di tengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya, dan 3 mobil polisi, di belakang mereka sebuah mobil ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu."Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap, tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun dari mobil, suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. "Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu." Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingatan semasa kecilnya kembali menerawang saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan kembali terlintas bayangan ketika ia mulai belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
"Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, "beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Sehingga mama tidak sia-sia pernah merawat saya". Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya, wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri di saat ia masih muda. "Mama ... ", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang selama ini ditunggunya tiap malam dan setiap hari, antara sadar dan tidak kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas, dengan perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebuah anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk
dan menyadari bahwa itulah pasangan anting yang selama ini dicarinya, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.
"Mama, saya tinggal di istana dengan makanan enak setiap hari. Mama jangan pergi, kita bisa lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur apapun juga ..., mama jangan pergi ...!" Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan, "Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan ... satu jam saja ... satu jam saja ... ." Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.
Semoga jadi renungan kita semua....
Judul tabloid : Keluarga, Edisi 40, Tahun II -- 2009
Penulis : dsb/fdy
Penerbit : PT. Anugerah Panca Media, Surabaya
Halaman : 34 -- 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar